Pengikut

Jumat, Mei 28, 2021

POTENSI SINDROMA DOWN UNTUK BERSEKOLAH DI SEKOLAH REGULER

 

 

Organisasi dari Italia yang berfokus pada pengidap down syndrome, mendapat surel dari seorang calon ibu yang berisi, “Aku sedang mengandung bayi yang didiagnosis mengidap down syndrome. Aku takut: kehidupan macam apa yang akan dijalaninya nanti?” Menanggapi hal ini, mereka mengunggah sebuah video bertajuk “Dear Future Mom” di Youtube. Di dalamnya, ada lima belas pengidap down syndrome dari berbagai usia dan kewarganegaraan yang mengirimkan pesan kepada si calon ibu tersebut. “Kepada calon ibu, jangan takut. Anakmu akan bisa melakukan banyak hal. Dia akan dapat bersekolah seperti semua orang. Dia akan mampu membantu ayahnya memperbaiki sepeda. Suatu hari nanti dia berada di tempat yang jauh karena pada akhirnya dia akan bisa berkeliling juga. Dia akan bisa bekerja dan mencari nafkah. Dari uang hasil kerjanya, ia akan dapat mengajakmu makan malam, atau menyewa apartemen dan tinggal sendiri. Kadang, rasanya akan sangat sulit, bahkan nyaris tidak mungkin [menjalani peran sebagai ibu]. Tetapi, bukankah memang seperti itu pengalaman semua ibu? Kepada calon ibu, anakmu bisa bahagia, sama seperti aku. Dan, kamu pun akan bahagia.” “Dear Future Mom” dirilis dalam rangka memperingati Hari Down Syndrome Sedunia yang jatuh setiap tanggal 21 Maret. Pemilihan tanggal ini didasari oleh karakter genetis pengidap down syndrome yang memiliki 3 kromosom ke-21 atau yang biasa dikenal dengan nama trisomy 21. Karena ada kelainan genetis ini, pengidap down syndrome memiliki wajah tipikal. Dilansir WebMD, beberapa ciri fisik lain yang mungkin ditemukan pada mereka adalah bentuk mata yang menyerupai almond, wajah yang lebih rata, lidah yang cenderung terjulur, jari-jari yang lebih pendek, dan satu garis horizontal pada telapak tangan yang dikenal dengan simian crease. Kendati memiliki tampilan fisik yang khas, mereka dapat pula mempunyai karakteristik lain yang berbeda antar-individu. Soal kemampuan intelektual misalnya. Seorang pengidap down syndrome bisa saja lebih cepat menyerap informasi baru dibanding yang lainnya. Variasi kemampuan intelektual mereka pula yang bisa memengaruhi pilihan orangtua dalam memilih sekolah untuk anak pengidap down syndrome. Melirik Sekolah Inklusif Seperti pesan yang disisipkan dalam “Dear Future Mom”, salah satu kecemasan orangtua anak down syndrome terkait dengan pendidikan yang akan diberikan kepadanya. Sebagian orangtua memilih untuk menempatkan anaknya di sekolah luar biasa (SLB) atau pendidikan nonformal, sedangkan sebagian lainnya tidak ragu untuk menyekolahkan anaknya di sekolah biasa. Pilihan kedua dapat muncul setelah sembilan tahun silam, Kemendiknas mengeluarkan peraturan No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Lewat peraturan ini, penyandang disabilitas dapat bersekolah di sekolah umum yang ditunjuk oleh Pemkot/Pemkab untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Kurikulum yang diterapkan di sekolah tersebut akan disesuaikan bagi penyandang disabilitas berdasarkan minat dan bakatnya dan akan ada tenaga pengajar terlatih yang akan menangani mereka. Selain sekolah yang ditunjuk Pemkot/Pemkab, inisiatif untuk merangkul penyandang disabilitas juga bisa datang dari pihak swasta adalah salah satunya. Mereka ditempatkan sekelas dengan siswa-siswa yang tidak berkebutuhan khusus. Sebelum atau sesudah sekolah, mereka juga diberikan program tambahan sesuai dengan kebutuhannya Mengenai kuota anak dengan disabilitas di  menyatakan tidak ada batasan tertentu. Penentuan jumlah siswa penyandang disabilitas dalam satu kelas bergantung pada berat ringan atau jenis disabilitas yang mereka punyai. Hal ini diketahui dari tes awal oleh psikolog di sekolah tersebut. Kendati sudah ada upaya pemerintah dan swasta untuk mengikutsertakan anak penyandang disabilitas dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah biasa, tidak berarti pengidap down syndrome seratus persen mendapatkan angin segar. Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome (POTADS) mengungkapkan bahwa dirinya masih menemukan sekolah inklusi negeri di Bandung yang memilih-milih siswa. Pemerintah Belum Optimal dalam Sosialisasi Sekolah Inklusif Kebanyakan dari sekolah inklusi negeri lebih menerima siswa dengan keterbatasan fisik. Kalaupun menerima siswa dengan keterbelakangan mental, sekolah macam itu menerapkan syarat seperti batas IQ minimal yang tidak sanggup ditembus anak-anak down syndrome. Opsi pun beralih ke swasta, tetapi hal ini mendatangkan kendala lain seperti perkara biaya sekolah yang lebih tinggi dibanding sekolah negeri. Sikap pilih-pilih siswa yang ditunjukkan pihak sekolah juga terlihat dalam sebuah kasus di Australia. Tahun 2015, Joel Deane pernah hendak mendaftarkan anaknya yang mengidap down syndrome ke sekolah biasa di Australia.

Tidak ada komentar: