Kasus
gangguan tumbuh kembang pada anak yang di deteksi atau diagnosis oleh dokter anak
(tumbuh kembang ) dan psikiater anak, saat ini sudah sangat beragam, mungkin
dengan penyebutan atau istilah yang “asing” ataupun yang sudah familiar
didengar. Mulai dari ADHD (attention deficit hyperktivity disorder), Auitism
Spectrum Diosrder, Speech Delay, global delay dll. tentunya tidak semua anak
bisa digolongkan secara “rigid” pada satu kategory. Karena setiap anak memiliki
karakteristik dan perilaku secara spesifik yang tidak bisa digeneralisaikan. Bahkan
pada satu diagnosis yang sama, autisme, bisa saja memikili gejala dan perilaku
yang berbeda. Oleh karena itu pada suatu kondisi tertentu, ada suatu “payung”
yang merupakan suatu tempat untuk mewadahi suatu kumpulan gejala, yang disebut
dengan spectrum dalam hal ini autism spectrum disorder.
Semua
gangguan tumbuh kembang anak, saat awal penegakkan diagnosis bisanya menggunakan
aspek yang paling “mudah” dilihat, yaitu bahasa dan gerak tubuh/perilaku. Hampir
semua ganggguan seperti tersebut diatas, meliputi kedua aspek ini. Misalkan,
autisme gangguannya ada pada aspek perilaku (minat yang terbatas dan interkasi
sosial), ADHD (gerakan anak yang over aktif, tidak fokus dan mudah bosan), mental
retardasi (gangguan dari komunikasi dalam konteks sosial dan kemampuan bantu
diri). Meskipun kedua gangguan ini terlihat terpisah, namun pada dasarnya
proses pemberian tata-laksananya tidak bisa dibuat secara parsial.
Pada
kasus tertentu gangguan yang disandang oleh anak, juga disertai dengan gangguan
penyerta seperti emosi yang labil, disruptive, agresif dan destruktive. Terutama
bagi anak yang belum bisa menyampaikan sesuatu yang dapat dipahami oleh orang
lain. Untuk itu perlu ada suatu bentuk tata-laksana atau pembelajaran secara
khusus, agar gangguan pada perkembangan anak tadi (aspek bicara dan perilaku),
bisa mendekati usia kronologis dari anak. Misalkan anak usia 2 tahun, sudah
bisa menguasai beberapa ratus kosa kata dan bisa merangkai 2 kata, seperti “mau
susu”, “minta kue” dll. sedangkan untuk kemampuan siap diri-kemampuan untuk
duduk di kursi, kontak mata dan memahami perintah sederhana. Namun tidak semua
anak memiliki kemampuan untuk bisa mendekati kondisi mainstream. Seperti untuk
kemampuan verbal, awalnya anak diminta untuk meniru gerakan oral, membuka tutup
mulut, meniup meniru suara (fonologi) dan meniru kata, namun karena usia anak
sudah besar (lebih dari 4 tahun, misalkan), bisa dicoba dengan menggunakan
media gambar sebagai bentuk representasi suatu aktivitas, benda dll. Khusus
bagi penyandang autisme, meskipun kontak mata mereka masih sulit untuk
dikondisikan, namun lebih mudah apabila diarahkan dengan menggunakan media
gambar. Paling tidak apabila anak belum bisa menyampaikan secara verbal, bisa melakukan
kontak mata dan melakukan instruksi dengan perantaraan media/kartu/gambar.
Pada
tahap awal pembelajaran menggunakan metode apapun, tidak akan bisa berjalan
bila tidak ada joint attention dari anak dan terapist. Join attention artinya menjalin
“hubungan” atau konektivitas antara dua individu, agar terjalin suatu
“hubungan” tentunya harus ada sesuatu yang menarik agar anak atau salah satu
pihak bisa “mendekat”. Upaya untuk mendekatkan anak dengan terapist pada tahap
awal inilah yang disebut dengan terapi perilaku, artinya kita berusaha membuat
anak menjadi patuh dan mau mengikuti apa yang kita sudah kondisikan.
Secara
spesifik tidak ada terapi yang tidak menggunakan perilaku sebagai salah satu
tolak ukur yang utama, apalagi jenis terapi bagi anak yang overkatif, inatensi
dan impulsive. Terapi perilaku juga tidak berdiri sendiri, setelah ada sedikit
kepatuhan dari anak, bisa diberikan materi yang berkaitan dengan kendala yang
dihadapi. Seperti menirukan gerakan, menyamakan benda identik, instruksi
“samakan”, kemampuan untuk “duduk” dengan jangka waktu tertentu. Pada anak
berkebutuhan khusus, yang masih kesulitan untuk melakukan percakapan secara
verbal/ekspresif, bisa digunakan media gambar sebagai sarana/bentuk bahasa
ekspresif atau sebagai jawaban atas pertanyaan tertentu. Misalkan anak diminta
untuk menjawab dengan kata tanya, “apa ini?”, “buah apa ini?”, “bentuk apa
ini?” dll. Bila belum mampu menjawab secara verbal, bisa diberikan beberapa
kartu diatas meja, seperti apel, buku, pensil, mobil. Lalu anak diberikan
pertanyaan menggunakan buah apel (sebenarnya). Lalu diberikan pertanyaan, “buah
apa ini?”, anak menjawab tidak hanya menggunakan verbal (kalau belum mampu,
namun bisa mencari atau mengambil gambar, sesuai dengan apa yang ditanyakan, lalu
anak menyerahkan gambar yang diambilnya itu ke terapist.
Semua yang dilakukan diatas adalah bentuk dasar
dari proses pembelajaran, visual support. Banyak jenis tata laksana yang
menggunakan media visual sebagai bentuk dasar pemberian terapi, diantaranya
adalah TEACCH (Teaching Educational, for Autistic Children with Communication
Handicap), PECS (Pictures Exchange Communication Systems), COMPIC (Computer
Pictograph). Semua ini menggunakan bentuk kartu sebagai sarana komunikasi, baik
menjawab atau mengungkapkan sesuatu, misalkan anak ingin ke kamar mandi, maka
bagi anak yang belum bisa berkomunikasi, bisa menggunakan/mencari gambar toilet
lalu menunjukkan ke arah lawan bicara atau anak ingin minum/kue, maka anak bisa
menggunakan media ini untuk menyampaikan keinginannya. Dengan adanya bentuk dan
sarana ini, maka diharapkan, emosi anak bisa lebih terkendali dan terbentuk
suatu perilaku yang lebih adaptif terhadap perubahan di lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar