POLA PENDIDIKAN INKLUSI
DAN SEKOLAH LUAR BIASA
Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS), jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia
mencapai angka 1,6 juta anak. Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memberikan akses pendidikan
kepada mereka adalah dengan membangun unit sekolah baru, yaitu Sekolah Luar
Biasa (SLB), dan mendorong tumbuhnya Sekolah Inklusi di daerah-daerah.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dirjen Dikdasmen), Hamid Muhammad mengatakan, tahun 2017 ini Kemendikbud
berencana membangun 11 unit SLB di 11 lokasi berbeda. “Biasanya kami
menganggarkan setiap tahun membangun 25 sampai 30 unit sekolah baru untuk SLB.
Tapi karena tahun ini ada pengurangan anggaran, direncanakan bangun 11 SLB di
11 titik,” ujarnya di Gedung SLB Pembina Tingkat Nasional.
Hamid mengatakan, selain alasan anggaran, pengurangan
jumlah SLB yang akan dibangun Kemendikbud di tahun 2017 juga karena masalah
administrasi, yaitu sertifikat tanah. “Sebenarnya banyak kabupaten yang
mengajukan (pembangunan SLB), tapi tanahnya belum ada sertifikat. Kami tidak
ingin seperti itu, karena bisa jadi masalah di kemudian hari,” katanya.
Ia menuturkan, dari 514 kabupaten/kota di seluruh
tanah air, masih terdapat 62 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB. Saat ini,
katanya, jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah mendapat layanan pendidikan
baru mencapai angka 18 persen. “Kita masih harus bekerja keras lagi, masih ada
82 persen (anak berkebutuhan khusus) yang harus kita layani,” tuturnya.
Dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia,
baru 18 persen yang sudah mendapatkan layanan pendidikan inklusi. Sekitar 115
ribu anak berkebutuhan khusus bersekolah di SLB, sedangkan ABK yang bersekolah
di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar 299 ribu.
Untuk memberikan akses pendidikan kepada ABK yang
tidak bersekolah di SLB, Kemendikbud telah menjalankan program Sekolah Inklusi.
Sekolah Inklusi adalah sekolah regular (non-SLB) yang juga melayani pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus. Di sekolah reguler, anak-anak berkebutuhan
khusus belajar bersama anak-anak reguler lainnya, dengan pendampingan guru
khusus selama kegiatan belajar mengajar. Saat ini terdapat 32-ribu sekolah
reguler yang menjadi Sekolah Inklusi di berbagai daerah.
“Kalau satu SLB di satu kabupaten, anak-anak yang
rumahnya jauh dari sekolah tidak bisa masuk SLB karena faktor jarak. Sekolah
Inklusi yang berada di sekolah-sekolah reguler dibuka untuk memberikan layanan
pendidikan yang setara bagi anak-anak berkebutuhan khusus,” ujar Hamid.
Ia pun mengimbau para orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus untuk aktif mendaftarkan anaknya ke sekolah agar
mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai. Hamid juga meminta sekolah-sekolah,
baik SLB maupun Sekolah Inklusi, untuk proaktif mencari anak berkebutuhan
khusus di daerahnya yang belum bersekolah. :
Dalam
perkembangannya kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional yang memberikan warna baru
dalam penyediaan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas ini.
Dalam penjelasannya, pasal 15 dan pasal 32 menyebutkan bahwa pendidikan khusus
merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik
yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau
berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Aturan terbaru yang mengatur tentang pendidikan inklusif ini, adalah
dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70
Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Hal ini
tentunya merupakan terobosan bentuk pelayanan pendidkan bagi anak-anak
penyandang disabilitas dengan bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusif yang
bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mewujudkan
penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak
diskriminatif.
Pendidikan inklusi
bagi para penyadang ini secara yuridis juga mendapatkan perlindung secara
internasional, yakni dengan adanya Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948),
Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Preaturan
Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993),
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang Penyandang
Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar (2000), dan Deklarasi Kongres Anak
Internasional (2004) (Sunaryo. 2009: 1).
Pendidikan inklusi
relatif banyak dibuka oleh berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, karena
semangat pendidikan inklusi memang sangat sesuai dengan filosofi Bangsa yang menyatakan
Bhineka Tunggal Ika. Selain lembaga-lembaga pendidikan resmi Pemerintah
(negeri), ternyata tidak sedikit lembaga swadaya atau swasta yang menyediakan
ruang bagi pendidikan inklusi di lembaganya. Namun demikian bila dibanding
dengan angka anak berkebutuhan khusus, maka jumlah lembaga pendidikan yang
menyediakan ruang untuk pendidikan inklusi belumlah memadai. Data
tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Direktorat jendral Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendibud, Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan
inklusi berjumlah 814 sekolah dengan jumlah siswa mencapai 15.181 siswa (
dikutib dari Solider).
Menurut Mudjito dkk
(2012: 12) yang dikutib dari data Kementerian Sosial RI tahun 2008, total
jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) sebanyak 1.544.184 anak. Kemudian
diprediksi pada tahun 2010 angka anak berkebutuhan khusus dari umur 5-18 tahun
adalah 21,42% dari jumlah ABK dengan berbagai kekurangan/kecacatan yakni
330.764 anak. Anak berkebutuhan khusus yang sudah mendapatkan layanan
pendidikan di sekolah khusus (SLB dan atau inklusi) dari jenjang Taman
Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Pertama hanya 85.737 anak (sekitar 25,92%).
Berarti masih ada 245.027 anak (74,08%) berkebutuhan khusus yang belum mendapat
layanan pendidikan dengan berbagai jenis kelainan, dan sebagian besar mereka
tinggal di perdesaan dan pusat-pusat perkotaan. Dengan demikian pendidikan
inklusi masih banyak memerlukan perhatian yang sangat besar dari pemerintah
sebagai penyelenggara negara yang bertanggungjawab terhadap pendidikan seperti
dimanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, yakni:
- Ayat (1): “Setiap warga Negara
berhak mendapatkan pendidikan”.
- Ayat (2): “Setiap warga
Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya’.
Upaya pemerintah
untuk melaksanakan pendidikan inklusi ini tuangkan melalui Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 72 tahun 1991 tentang pendidikan Luar Biasa, UU RI Nomor 20 tahun
2003 tentang sistem Pendidikan Nasional tentang pendidikan bagi peserta didik penyandang
disabilitas, Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan Pendidikan
Inklusi bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa, serta Surat Edaran Dirjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendiknas Nomor 380/C.C6/MN/2003, tanggal 20
Januari 2003, Yakni: “Setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan
mengembangkan pendidikan inkluusif di sekurang-kuranya 4 (empat) sekolah yang
terdiri dari SD, SMP, SMA, SMK”. Walaupun telah ada usaha pemerintah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusi melalui Undang-undang atau Peraturan
Pemerintah, bukan berarti semuanya telah selesai. Dalam kenyataannya, dengan
berbagai alasan banyak sekolah yang masih keberatan untuk menerima siswa
berkebutuhan khusus ini, kalau toh ada terkadang pelaksanaannya belum seperti
diharapkan sesuai dengan konsep pendidikan inklusi itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar