Pengikut

Senin, Februari 11, 2019

POLA PENDIDIKAN INKLUSI DAN SEKOLAH LUAR BIASA


POLA PENDIDIKAN INKLUSI DAN SEKOLAH LUAR BIASA

 Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK)  di Indonesia mencapai angka 1,6 juta anak. Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memberikan akses pendidikan kepada mereka adalah dengan membangun unit sekolah baru, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), dan mendorong tumbuhnya Sekolah Inklusi di daerah-daerah.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen), Hamid Muhammad mengatakan, tahun 2017 ini Kemendikbud berencana membangun 11 unit SLB di 11 lokasi berbeda. “Biasanya kami menganggarkan setiap tahun membangun 25 sampai 30 unit sekolah baru untuk SLB. Tapi karena tahun ini ada pengurangan anggaran, direncanakan bangun 11 SLB di 11 titik,” ujarnya di Gedung SLB Pembina Tingkat Nasional.

Hamid mengatakan, selain alasan anggaran, pengurangan jumlah SLB yang akan dibangun Kemendikbud di tahun 2017 juga karena masalah administrasi, yaitu sertifikat tanah. “Sebenarnya banyak kabupaten yang mengajukan (pembangunan SLB), tapi tanahnya belum ada sertifikat. Kami tidak ingin seperti itu, karena bisa jadi masalah di kemudian hari,” katanya.

Ia menuturkan, dari 514 kabupaten/kota di seluruh tanah air, masih terdapat 62 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB. Saat ini, katanya, jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah mendapat layanan pendidikan baru mencapai angka 18 persen. “Kita masih harus bekerja keras lagi, masih ada 82 persen (anak berkebutuhan khusus) yang harus kita layani,” tuturnya.

Dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, baru 18 persen yang sudah mendapatkan layanan pendidikan inklusi. Sekitar 115 ribu anak berkebutuhan khusus bersekolah di SLB, sedangkan ABK yang bersekolah di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar 299 ribu.

Untuk memberikan akses pendidikan kepada ABK yang tidak bersekolah di SLB, Kemendikbud telah menjalankan program Sekolah Inklusi. Sekolah Inklusi adalah sekolah regular (non-SLB) yang juga melayani pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Di sekolah reguler, anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak-anak reguler lainnya, dengan pendampingan guru khusus selama kegiatan belajar mengajar. Saat ini terdapat 32-ribu sekolah reguler yang menjadi Sekolah Inklusi di berbagai daerah.

“Kalau satu SLB di satu kabupaten, anak-anak yang rumahnya jauh dari sekolah tidak bisa masuk SLB karena faktor jarak. Sekolah Inklusi yang berada di sekolah-sekolah reguler dibuka untuk memberikan layanan pendidikan yang setara bagi anak-anak berkebutuhan khusus,” ujar Hamid.

Ia pun mengimbau para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk aktif mendaftarkan anaknya ke sekolah agar mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai. Hamid juga meminta sekolah-sekolah, baik SLB maupun Sekolah Inklusi, untuk proaktif mencari anak berkebutuhan khusus di daerahnya yang belum bersekolah. :
Dalam perkembangannya kemudian Pemerintah  mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional yang memberikan warna baru dalam penyediaan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas ini. Dalam penjelasannya, pasal 15 dan pasal 32 menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Aturan terbaru yang mengatur tentang pendidikan inklusif ini, adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Hal ini tentunya merupakan terobosan bentuk pelayanan pendidkan bagi anak-anak penyandang disabilitas dengan bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusif yang bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif.
Pendidikan inklusi bagi para penyadang ini secara yuridis juga mendapatkan perlindung secara internasional, yakni dengan adanya Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990),  Preaturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang Penyandang Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar (2000), dan Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004) (Sunaryo. 2009: 1).
Pendidikan inklusi relatif banyak dibuka oleh berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, karena semangat pendidikan inklusi memang sangat sesuai dengan filosofi Bangsa yang menyatakan Bhineka Tunggal Ika. Selain lembaga-lembaga pendidikan resmi Pemerintah (negeri), ternyata tidak sedikit lembaga swadaya atau swasta yang menyediakan ruang bagi pendidikan inklusi di lembaganya. Namun demikian bila dibanding dengan angka anak berkebutuhan khusus, maka jumlah lembaga pendidikan yang menyediakan ruang untuk pendidikan inklusi belumlah memadai. Data tahun  2010 yang dikeluarkan oleh Direktorat jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendibud, Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi berjumlah 814 sekolah dengan jumlah siswa mencapai 15.181 siswa ( dikutib dari Solider).
Menurut Mudjito dkk (2012: 12) yang dikutib dari data Kementerian Sosial RI tahun 2008, total jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) sebanyak 1.544.184 anak. Kemudian diprediksi pada tahun 2010 angka anak berkebutuhan khusus dari umur 5-18 tahun adalah 21,42% dari jumlah ABK dengan berbagai kekurangan/kecacatan yakni 330.764 anak. Anak berkebutuhan khusus yang sudah mendapatkan layanan pendidikan di sekolah khusus (SLB dan atau inklusi) dari jenjang Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Pertama hanya 85.737 anak (sekitar 25,92%). Berarti masih ada 245.027 anak (74,08%) berkebutuhan khusus yang belum mendapat layanan pendidikan dengan berbagai jenis kelainan, dan sebagian besar mereka tinggal di perdesaan dan pusat-pusat perkotaan. Dengan demikian pendidikan inklusi masih banyak memerlukan perhatian yang sangat besar dari pemerintah sebagai penyelenggara negara yang bertanggungjawab terhadap pendidikan seperti dimanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, yakni:
-          Ayat (1): “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”.
-          Ayat (2): “Setiap  warga  Negara  wajib  mengikuti  pendidikan  dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
Upaya pemerintah untuk melaksanakan pendidikan inklusi ini tuangkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 1991 tentang pendidikan Luar Biasa, UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional tentang pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas, Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan Pendidikan Inklusi bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, serta Surat Edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendiknas Nomor 380/C.C6/MN/2003, tanggal 20 Januari 2003, Yakni: “Setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inkluusif di sekurang-kuranya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, SMK”. Walaupun telah ada usaha pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi melalui Undang-undang atau Peraturan Pemerintah, bukan berarti semuanya telah selesai. Dalam kenyataannya, dengan berbagai alasan banyak sekolah yang masih keberatan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus ini, kalau toh ada terkadang pelaksanaannya belum seperti diharapkan sesuai dengan konsep pendidikan inklusi itu sendiri.

Tidak ada komentar: