GANGGUAN BICARA TIDAK SELALU AUTISME
Profesional dalam bidang kesehatan
mental, seperti: Dokter Anak, Psikiater dan Psikolog biasa menggunakan DSM
dalam menyusun diagnosa Autisme. DSM memberikan panduan dan penjelasan mengenai
berbagai gejala dan tanda-tanda yang terkait dengan autisme. DSM juga
memberikan kriteria mengenai berapa jumlah gejala yang harus tampak untuk dapat
menegakkan diagnosa klinis autisme.
Ada beberapa perubahan diagnosa dalam
DSM V yang perlu dipahami oleh profesional dalam bidang kesehatan mental.
1. Satu diagnosa
gangguan Autisme Spektrum (Autism Spectrum Disorder).
Diagnosa ASD
menggantikan berbagai diagnosa klinis terdahulu seperti Gangguan Autistik,
Asperger, dan Ganggan Pervasive yang tidak spesifik.
2. Kriteria derajat
keberatan gejala.
Dalam diagnosa ASD
diperkenalkan juga kontinuum derajat keberatan autisme, dari level 1, 2, 3.
Tingkatan ini didasarkan pada sejauhmana anak membutuhkan dukungan orang lain
dalam melakukan tugas perkembangannya. Tingkatan ini menunjukkan bahwa ada anak
dengan tingkat ASD ringan dan ada pula yang tingkat gangguan lebih berat.
4. Diagnosa ASD dari
Triadic menjadi Dyadic
Sebelumnya diagnosa
autisme ditegakkan jika muncul gangguan pada 3 ranah, yaitu: komunikasi dan
bahasa, interaksi sosial dan perilaku minat terbatas dan berulang (DSM IV TR,
2000). Namun dalam DSM V, diagnosanya menjadi 2 ranah, yaitu: hambatan
komunikasi sosial (deficits in social communication)
dan minat yang terfiksasi dan perilaku berulang (fixated interest and repetitive
behavior).
5. Profil sensoris
autisme
Sebelumnya problem
sensoris atau inderawi autisme tidak disebutkan dalam DSM IV. Dalam DSM V,
profil sensoris anak dengan ASD dimasukkan dalam gejala minat yang terfiksasi
dan perilaku berulang. Misalkan: tidak menyukai makanan tertentu yang memiliki
warna atau tekstur tertentu.
6. Gejala yang telah
muncul sejak masa kanak
Menurut DSM V, diagnosa
ASD bisa ditegakkan jika anak telah menunjukkan gejala sejak masa kanak.
Walaupun gangguan ASD baru diketahui setelah masa kanak, namun penting untuk
melihat dyadic tersebut yang menunjukkan bahwa anak memiliki persoalan dalam
hal sosial dan perilaku dibandingkan anak-anak seusianya.
7. Diagnosa comorbid
Dalam DSM V, dijelaskan
bahwa jika anak menampilkan gejala dari beberapa gangguan, maka ia bisa
mendapatkan diagnosa komorbid. Diagnosa komorbid adalah jika anak
mendapatkan 2 diagnosa gangguan atau lebih. Misalkan, anak dengan ASD dan
ADHD.
8. Perbedaan diagnosa
Gangguan komunikasi sosial dan ASD
Perbedaannya adalah
Gangguan komunikasi sosial (Social
Communication Behavior) tidak mencakup problem perilaku minat
terbatas dan berulang. Karena ini adalah kriteria yang baru, ahli klinis perlu
lebih mempelajarinya agar lebih terbiasa menggunakannya.
Perubahan ini akan
mempengaruhi proses pembuatan diagnosa di seluruh dunia. Di Australia, mulai saat ini proses diagnosa ASD telah mulai
menggunakan DSM V. Namun di Indonesia proses diagnosa ASD belum dilakukan
dengan panduan DSM V
Bagi anak yang dapat di mainstream ke sekolah biasa, kesulitan dalam sisi
bahasa dan bicara biasanya meningkat kapada tingkatan bahasa yang lebih tinggi, yakni ketika anak mulai memasuki dunia akademis, pemakaian bahasa itu sendiri menjadi lebih kompleks. bahasa dan bicara antara lain mencangkup pemahaman; penggunaan tata bahasa yang benar;
dapat memahami dan menceritakan kembali apa yang dialaminya; dan tentunya
memakai bahasa dan bicara secara sosial.
Segala
kemampuan yang telah diajarkan haruslah digeneralisasikan keorang lain dan
situasi lainnya. Kemampuan ini pula haruslah dapat dipakai oleh anak secara
fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Penyebab kelainan berbicara dan bahasa bisa bermacam-macam
yang melibatkan berbagai faktor yang dapat saling mempengaruhi, antara lain kondisi lingkungan, pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis, dan lain sebagainya.
yang melibatkan berbagai faktor yang dapat saling mempengaruhi, antara lain kondisi lingkungan, pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis, dan lain sebagainya.
Gangguan bicara dan bahasa pada anak dapat disebabkan
oleh kelainan berikut:
1. Lingkungan sosial dan emosional anak.
Interaksi antar personal merupakan dasar dari semua
komunikasi dan perkembangan bahasa. Lingkungan yang tidak mendukung akan menyebabkan
gangguan bicara dan bahasa pada anak, termasuk lingkungan keluarga. Misalnya, gagap dapat
disebabkan oleh kekhawatiran dan perhatian orang tua yang berlebihan pada saat anak
mulai belajar bicara, tekanan emosi pada usia yang sangat muda sekali, dan dapat juga sebagai
suatu respon terhadap konflik dan rasa takut. Sebaliknya, gagap juga dapat menimbulkan
problem emosional pada anak.
2. Sistem masukan / input
Gangguan pada sistem pendengaran, penglihatan, dan
defisit taktilkinestetik
dapat menyebabkan gangguan bicara dan bahasa pada anak. Dalam perkembangan bicara, pendengaran merupakan alat yang sangat penting. Anak seharusnya sudah dapat mengenali bunyi-bunyian sebelum belajar bicara. Anak dengan otitis media kronis dengan penurunan daya pendengaran akan mengalami keterlambatan kemampuan menerima atau mengungkapkan bahasa. Gangguan bahasa juga terdapat pada tuli karena kelainan genetik dan metabolik (tuli primer), tuli neurosensorial (infeksi intrauterin : TORCH), tuli konduksi seperti akibat malformasi telinga luar, tuli sentral (sama sekali tidak dapat mendengar), tuli persepsi/afasia sensorik (terjadi kegagalan integrasi arti bicara yang didengar menjadi suatu pengertian yang menyeluruh), dan tuli psikis seperti pada skizofrenia, autisme infantil, keadaan cemas dan reaksi psikologis lainnya.
dapat menyebabkan gangguan bicara dan bahasa pada anak. Dalam perkembangan bicara, pendengaran merupakan alat yang sangat penting. Anak seharusnya sudah dapat mengenali bunyi-bunyian sebelum belajar bicara. Anak dengan otitis media kronis dengan penurunan daya pendengaran akan mengalami keterlambatan kemampuan menerima atau mengungkapkan bahasa. Gangguan bahasa juga terdapat pada tuli karena kelainan genetik dan metabolik (tuli primer), tuli neurosensorial (infeksi intrauterin : TORCH), tuli konduksi seperti akibat malformasi telinga luar, tuli sentral (sama sekali tidak dapat mendengar), tuli persepsi/afasia sensorik (terjadi kegagalan integrasi arti bicara yang didengar menjadi suatu pengertian yang menyeluruh), dan tuli psikis seperti pada skizofrenia, autisme infantil, keadaan cemas dan reaksi psikologis lainnya.
3. Sistem pusat bicara dan bahasa
Kelainan pada susunan saraf pusat akan mempengaruhi
pemahaman, interpretasi, formulasi, dan perencanaan bahasa, juga aktivitas dan kemampuan
intelektual dari anak. Dalam hal ini, terdapat defisit kemampuan otak untuk memproses informasi yang komplek
secara cepat.
4. Sistem produksi
Sistem produksi suara meliputi laring, faring, hidung,
struktur mulut dan mekanisme neuromuskular yang berpengaruh terhadap pengaturan nafas untuk berbicara,
bunyi laring, pembentukan bunyi untuk artikulasi bicara melalui aliran udara lewat
laring, faring dan rongga mulut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar