Pengikut

Senin, September 15, 2014

METODE TERAPI BAGI PENYANDANG AUTISME



METODE TERAPI BAGI PENYANDANG AUTISME

Perubahan kriteria penyandang Autis dalam edisi kelima dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) mendatang, banyak menuai komentar. Mereka yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun memberikan pelayanan untuk penyandang autis menghadapi ketidakpastian.
“Anda akan memiliki sejumlah populasi diluar sana yang saat ini mengambang dan tidak sesuai.” kata Colleen Allen, direktur Autism Alliance of Michigan, Sabtu (21/1/12) rilis American Psychological Association.
Kurikulum yang biasa digunakan bagi anak berkebutuhan khusus, disusun oleh Chatherine Maurice, seperti perintah kontak mata-dengan perintah “lihat”; instruksi satu langkah “duduk”, “berdiri”, “kesini”; meniru gerakan motorik kasar, dengan perintah “tirukan”; menunjuk sesuatu, dengan perintah “pegang”/”tunjuk” dll; kemampuan menyamakan benda ; meniru kata; kemampuan menjawab pertanyaan/melabel.
Program pembelajaran ini, disusun secara menyeluruh, terstruktur dengan menggunakan teknik rewards/prompt atau rewards negatif. Dengan waktu pembelajaran paling tidak 20 jam per minggu. 
 Penelitian pertama tentang prinsip intervensi dini, mulai dilakukan pada awal tahun 60-an, yang memberikan wadah bagi analisis perilaku anak dengan kondisi autisme. Prinsip yang digunakan adalah memakai Applied Behavior Analysis, yang bertujuan untuk “membangun” fungsi hubungan sosial. Hal ini menjadi prioritas utama karena anak dengan kondisi autisme, mempunyai kekurangan yang sangat berat dalam berhubungan/berinteaksi dengan orang lain.
Respon dari anak penyandang autisme, tampak sedikit dan tidak terlalu relevant dengan situasi yang ada di lingkungan. Banyak diantara mereka yang gerakan-gerakan yang tidak “lazim”, seperti mencium obyek, menggerakkan badan ke depan dan ke belakang-disebut dengan stimulasi diri (self stimulation). Stimulasi diri tidak hanya dengan gerakan, namun juga dengan obyek/benda tertentu (peta, kalender, film) dll. Perilaku self stimulasi tidak bisa dibuat secara menyeluruh pada semua perilaku anak dengan kondisi autisme. Seperti echolalia (mengulang pertanyaan dari lawan bicara), bisa disebut stimulasi diri pada satu anak, namun belum tentu terjadi pada anak yang lainnya.
Perilaku self stimulasi sering didefinisikan sebagai suatu tindakan yang tidak nyata,  bisa juga sebagai suatu tampak berulang (stereotipik), babbling, rocking, handflaving dll.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa anak autis sangat sulit untuk mengikuti pembelajaran, sebagaimana yang dilakukan pada anak dengan kondisi typical-neuro development. Kita sepakat bahwa dengan pembelajaran yang sistematik, konsisten dan instruksi yang disertai dengan prompt (bantuan)-correct responding (reinforcement)-akan membuat pemahaman anak semakin meningkat.
Metode yang dapat digunakan adalah DTT (discreate trial terapy), yang tidak sama dengan pembelajaran “biasa”, karena peserta didik yang dihadapi adalah, anak dengan kondisi autis, dimana mereka pada umumnya belum paham terhadap perintah/tidak merespon apa yang disampaikan oleh terapist. Hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang terapist adalah, mempersiapkan suatu IEP (individual educational program), yang memuat beberapa hal yang menjadi kekurangan/deficit dari anak autis, yang biasanya terdiri dari deficit bidang bahasa/komunikasi, perilaku dan interaksi sosial.
Untuk mengajarkan anak dengan gangguan bahasa/komunikasi, dapat dirancang dengan memodifikasi lingkungan agar dapat “memancing” anak mengungkapkan apa yang ia inginkan. Misalkan anak tertarik dengan komputer/TV, maka dapat disetting sebuah ruangan yang khusus untuk bermain komputer dan melihat televisi, dimana anak dapat masuk ke ruangan tersebut, setelah mengikuti pembelajaran dari guru dikelas yang lain. Keinginan anak untuk menyampaikan apa yang ia mau, merupakan suatu dasar dalam komunikasi dua arah
Meningkatkan keinginan anak untuk bermain dengan lebih banyak mainan, bermain pura-pura, yang merupakan suatu dasar dalam berinteraksi dengan orang lain.
Untuk memperkenalkan kosa kata baru, dapat digunakan hal-hal alamiah yang ada di lingkungan sekitar anak sebagai salah satu media. Misalkan untuk warna “kuning”, dapat diajarkan dengan benda yang sama, namun terdiri dari beberapa warna, seperti “permen merah”, “permen biru” dan “permen hijau”.
Ada tiga hal utama yang yang menjadi inti dari metode DTT,
1)   Instruksi dari guru/terapist ;
2)   Respon anak terhadap instruksi;
3)   Feedback dari terapist terhadap respon anak (benar/salah)
Dr Walter Kaufmann, direktur Center for Genetic Disorders of Cognition and Behavior at Kennedy Krieger Institute, melihatnya secara berbeda.
“Perubahan ini lebih baik untuk mendefinisikan mana pasien yang benar-benar sesuai. Itu berarti lebih tertarget dan intervensi yang diberikan lebih efektif. Pedoman harus dilaksanakan untuk melihat dampak pada pelayanan benar-benar sesuai.” katanya. (mba)

Tidak ada komentar: