METODE
TERAPI BAGI PENYANDANG AUTISME
Perubahan kriteria penyandang Autis dalam edisi kelima dari Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) mendatang, banyak menuai
komentar. Mereka yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun memberikan
pelayanan untuk penyandang autis menghadapi ketidakpastian.
“Anda akan
memiliki sejumlah populasi diluar sana yang saat ini mengambang dan tidak
sesuai.” kata Colleen Allen, direktur Autism Alliance of Michigan, Sabtu
(21/1/12) rilis American Psychological Association.
Kurikulum yang biasa
digunakan bagi anak berkebutuhan khusus, disusun oleh Chatherine Maurice,
seperti perintah kontak mata-dengan perintah “lihat”; instruksi satu langkah
“duduk”, “berdiri”, “kesini”; meniru gerakan motorik kasar, dengan perintah
“tirukan”; menunjuk sesuatu, dengan perintah “pegang”/”tunjuk” dll; kemampuan
menyamakan benda ; meniru kata; kemampuan menjawab pertanyaan/melabel.
Program pembelajaran
ini, disusun secara menyeluruh, terstruktur dengan menggunakan teknik
rewards/prompt atau rewards negatif. Dengan waktu pembelajaran paling tidak 20
jam per minggu.
Penelitian pertama tentang prinsip intervensi
dini, mulai dilakukan pada awal tahun 60-an, yang memberikan wadah bagi
analisis perilaku anak dengan kondisi autisme. Prinsip yang digunakan adalah
memakai Applied Behavior Analysis, yang bertujuan untuk “membangun” fungsi
hubungan sosial. Hal ini menjadi prioritas utama karena anak dengan kondisi
autisme, mempunyai kekurangan yang sangat berat dalam berhubungan/berinteaksi
dengan orang lain.
Respon dari anak
penyandang autisme, tampak sedikit dan tidak terlalu relevant dengan situasi
yang ada di lingkungan. Banyak diantara mereka yang gerakan-gerakan yang tidak
“lazim”, seperti mencium obyek, menggerakkan badan ke depan dan ke
belakang-disebut dengan stimulasi diri (self stimulation). Stimulasi diri tidak
hanya dengan gerakan, namun juga dengan obyek/benda tertentu (peta, kalender,
film) dll. Perilaku self stimulasi tidak bisa dibuat secara menyeluruh pada
semua perilaku anak dengan kondisi autisme. Seperti echolalia (mengulang
pertanyaan dari lawan bicara), bisa disebut stimulasi diri pada satu anak, namun
belum tentu terjadi pada anak yang lainnya.
Perilaku self stimulasi
sering didefinisikan sebagai suatu tindakan yang tidak nyata, bisa juga sebagai suatu tampak berulang
(stereotipik), babbling, rocking, handflaving dll.
Seperti kita ketahui
bersama, bahwa anak autis sangat sulit untuk mengikuti pembelajaran,
sebagaimana yang dilakukan pada anak dengan kondisi typical-neuro development.
Kita sepakat bahwa dengan pembelajaran yang sistematik, konsisten dan instruksi
yang disertai dengan prompt (bantuan)-correct responding (reinforcement)-akan
membuat pemahaman anak semakin meningkat.
Metode yang dapat
digunakan adalah DTT (discreate trial terapy), yang tidak sama dengan
pembelajaran “biasa”, karena peserta didik yang dihadapi adalah, anak dengan
kondisi autis, dimana mereka pada umumnya belum paham terhadap perintah/tidak
merespon apa yang disampaikan oleh terapist. Hal pertama yang harus dilakukan
oleh seorang terapist adalah, mempersiapkan suatu IEP (individual educational
program), yang memuat beberapa hal yang menjadi kekurangan/deficit dari anak
autis, yang biasanya terdiri dari deficit bidang bahasa/komunikasi, perilaku
dan interaksi sosial.
Untuk mengajarkan anak
dengan gangguan bahasa/komunikasi, dapat dirancang dengan memodifikasi
lingkungan agar dapat “memancing” anak mengungkapkan apa yang ia inginkan.
Misalkan anak tertarik dengan komputer/TV, maka dapat disetting sebuah ruangan
yang khusus untuk bermain komputer dan melihat televisi, dimana anak dapat
masuk ke ruangan tersebut, setelah mengikuti pembelajaran dari guru dikelas
yang lain. Keinginan anak untuk menyampaikan apa yang ia mau, merupakan suatu
dasar dalam komunikasi dua arah
Meningkatkan keinginan
anak untuk bermain dengan lebih banyak mainan, bermain pura-pura, yang
merupakan suatu dasar dalam berinteraksi dengan orang lain.
Untuk memperkenalkan
kosa kata baru, dapat digunakan hal-hal alamiah yang ada di lingkungan sekitar
anak sebagai salah satu media. Misalkan untuk warna “kuning”, dapat diajarkan
dengan benda yang sama, namun terdiri dari beberapa warna, seperti “permen
merah”, “permen biru” dan “permen hijau”.
Ada tiga hal utama yang
yang menjadi inti dari metode DTT,
1)
Instruksi dari
guru/terapist ;
2)
Respon anak terhadap
instruksi;
3)
Feedback dari terapist
terhadap respon anak (benar/salah)
Dr Walter
Kaufmann, direktur Center for Genetic Disorders of Cognition and Behavior at
Kennedy Krieger Institute, melihatnya secara berbeda.
“Perubahan ini
lebih baik untuk mendefinisikan mana pasien yang benar-benar sesuai. Itu
berarti lebih tertarget dan intervensi yang diberikan lebih efektif. Pedoman
harus dilaksanakan untuk melihat dampak pada pelayanan benar-benar sesuai.”
katanya. (mba)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar