Pengikut

Senin, Juli 07, 2014

GANGGUAN KOGNITIF PADA ANAK PENYANDANG AUTISME



GANGGUAN KOGNITIF PADA ANAK PENYANDANG AUTISME

Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif.  Ranah kognitif  memiliki enam jenjang atau aspek, yaitu:
1. Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge)
2. Pemahaman (comprehension)
3. Penerapan (application)
4. Analisis (analysis)
5. Sintesis (syntesis)
6. Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation)
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.

2.      Afektif
          Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku.
Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu:
1. Receiving atau attending ( menerima atua memperhatikan)
2. Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”
3. Valuing (menilai atau menghargai)
4. Organization (mengatur atau mengorganisasikan)
5. Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan  suatu nilai atau
komplek nilai)

3.      Psikomotorik
          Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku). Ranah psikomotor adalah berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya.
Hasil belajar keterampilan (psikomotor) dapat diukur melalui: (1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.

Gangguan kognitif merupakan respon maladaptive yang ditandai oleh daya ingat terganggu, disonentasi, inkoheren dan sukar bepikir logis. Gangguan kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak, karena kemampuan pasien untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan otak.
a). Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Gangguan kognitif umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi susunan saraf pusat (SSP). SSP memerlukan nutrisi untuk berfungsi, setiap gangguan pengiriman nutrisi mengakibatkan gangguan fungsi SSP. Faktor yang dapat menyebabkan adalah penyakit infeksi sistematik, gangguan peredaran darah, keracunan zat (Beck, Rawlins dan Williams, 1984, hal 871). Banyak faktor lain yang menurut beberapa ahli dapat menimbulkan gangguan kognitif, seperti kekurangan vitamin, malnutrisi, gangguan jiwa fungsional.           
2. Faktor Presipitasi 
Setiap kejadian diotak dapat berakibat gangguan kognitif. Hipoksia dapat berupa anemia Hipoksia, Hitoksik Hipoksia, Hipoksemia Hipoksia, atau Iskemik Hipoksia. Semua Keadaan ini mengakibatkan distribusi nutrisi ke otak berkurang. Gangguan metabolisme sering mengganggu fungsi mental, hipotiroidisme, hipoglikemia. Racun, virus dan virus menyerang otak mengakibatkan gangguan fungsi otak, misalnya sifilis. Perubahan struktur otak akibat trauma atau tumor juga mengubah fungsi otak. Stimulus yang kurang atau berlebihan dapat mengganggu fungsi kognitif. Misalnya ruang ICU dengan cahaya, bunyi yang konstan merangsang dapat mencetuskan disorientasi, delusi dan halusinasi, namun belum ada penelitian yang tepat.        
        b). Akibat gangguan kognitif
1.      Menurun kemampuan konsentrasi terhadap stimulus (misalnya, pertanyaan harus diulang).
2.      Proses pikir yang tidak tertata, misalnya tidak relevan atau inkoheren.
3.      Minimal 2 dari yang berikut :
-       Menurunkan tingkat kesadaran.
-       Gangguan persepsi, Ilusi, halusinasi.
-       Gangguan tidur, tidur berjalan dan insomnia atau ngatuk pada siang hari.
-       Meningkat atau Menurun aktivitas psikomotor.
-       Disorientasi, tempat, waktu, orang.
-       Gangguan daya ingat, tidak dapat mengingat hal baru, misalnya nama beberapa benda setelah lima menit.   
Gangguan kognitif
Hampir 75-80% anak autisme mengalami retardasi mental dengan derajat rata-rata sedang. Menarik untuk diketahui bahwa beberapa anak autisme menunjukkan kemampuan memecahkan masalah yang luar biasa, seperti mempunyai daya ingat yang sangat baik dan kemampuan membaca yang di atas batas penampilan intelektualnya.
Sebanyak 50% dari idiot savants, yakni orang dengan retardasi mental yang menunjukkan kemampuan luar biasa, seperti menghitung kalender, memainkan satu lagu hanya dari sekali mendengar, mengingat nomor-nomor telepon yang ia baca dari buku telepon, adalah seorang penyandang autisme.
Gangguan perilaku motorik
Kebanyakan anak autisme menunjukkan adanya stereotip, seperti bertepuk-tepuk tangan dan menggoyang-goyangkan tubuh. Hiperaktif biasa terjadi terutama pada anak prasekolah. Namun, sebaliknya, dapat terjadi hipoaktif. Beberapa anak juga menunjukkan gangguan pemusatan perhatian dan impulsivitas. Juga didapatkan adanya koordinasi motorik yang terganggu, tiptoe walking, clumsiness, kesulitan belajar mengikat tali sepatu, menyikat gigi, memotong makanan, dan mengancingkan baju.
Diagnosis Banding
Gangguan autisme musti dibedakan dengan:
  • Retardasi mental: ketrampilan sosial dan komunikasi verbal atau non-verbal pada anak retardasi mental sesuai dengan usia mental mereka. Tes inteligensi biasanya menunjukkan suatu penurunan yang menyeluruh dari berbagai tes. Berbeda dengan anak autisme yang hasil tesnya tidak menunjukkan hasil yang rata-rata sama. Kebanyakan anak dengan taraf retardasi yang berat dan usia mental yang sangat rendah menunjukkan tanda-tanda autisme yang khas, seperti gangguan dalam interaksi sosial, stereotip, dan buruknya kemampuan berkomunikasi.
  • Skizofrenia: kebanyakan anak dengan skizofrenia secara umum tampak normal pada saat bayi sampai usia 2-3 tahun, dan baru kemudian muncul halusinasi, gejala yang tidak terdapat pada autisme. Biasanya anak dengan skizofrenia tidak retardasi mental, sedangkan pada autisme sekitar 75-80% adalah retardasi mental.
  • Gangguan perkembangan berbahasa: kondisi ini menunjukkan adanya gangguan pemahaman dan dalam mengekspresikan pembicaraan, namun komunikasi non-verbalnya baik, dengan memakai gerakan tubuh dan ekspresi wajah. Juga tidak ditemukan adanya stereotip dan gangguan yang berat dalam interaksi sosial.
  • Gangguan penglihatan dan pendengaran: mereka yang buta dan tuli tidak akan bereaksi terhadap rangsang lingkungan sampai gangguannya terdeteksi dan memakai alat bantu khusus untuk mengoreksi kelainannya.
  • Gangguan kelekatan yang rekatif: suatu gangguan dalam hubungan sosial pada bayi dan anak kecil. Keadaan itu dikarenakan pengasuhan yang buruk sehingga dengan terapi dan pengasuhan yang baik serta sesuai, kondisi itu dapat kembali normal.
Bagaimana perjalanan penyakit dan prognosis autisme?
Walaupun kebanyakan anak autisme menunjukkan perbaikan dalam hubungan sosial dan kemampuan berbahasa seiring dengan meningkatnya usia, gangguan autisme tetap meninggalkan ketidakmampuan yang menetap. Mayoritas dari mereka tidak dapat hidup mandiri dan membutuhkan perawatan di institusi ataupun membutuhkan supervisi terus. Hasil penelitian menemukan bahwa:
  • Dua per tiga dari anak autisme mempunyai prognosis yang buruk: tidak dapat mandiri.
  • Seperempat dari anak autisme mempunyai prognosis yang sedang: terdapat kemajuan di bidang sosial dan pendidikan, walaupun ada problem perilaku.
  • Sepersepuluh dari anak-anak autisme mempunyai prognosis yang baik: mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir normal dan berfungsi dengan baik di sekolah ataupun di tempat kerja.
Walaupun demikian, sangatlah jarang penyandang autisme dapat berfungsi seperti orang dewasa, yakni mempunyai teman dan menikah. Beberapa peneliti mencatat adanya peningkatan masalah perilaku pada remaja, termasuk gangguang obsesive dan kumpulsive yang berat dan apatis. Juga dilaporkan munculnya gangguan depresi pada saat remaja. Gejala depresi muncul pada remaja ketika kesadaran yang menyakitkan muncul bahwa mereka tidak mampu membina hubungan dengan teman walaupun mereka menginginkannya.

Tidak ada komentar: