Pengikut

Senin, Januari 20, 2014

EFEKTIFKAH SERING BERPINDAH TEMPAT TERAPI BAGI PENYANDANG AUTISME?



EFEKTIFKAH SERING BERPINDAH TEMPAT TERAPI  BAGI  PENYANDANG AUTISME?

Para orang tua yang memiliki anak autis seringkali terjebak pada perilaku "shopping therapy" atau berpindah-pindah tempat terapi karena mereka tidak sabar.  Alhasil, terapi yang dijalani penyandang autisme menjadi tidak efektif karena dilakukan secara tidak berkelanjutan.
"Shopping therapy ini menyebabkan terapi terhadap si anak tidak efektif karena polanya tidak berkesinambungan dan mungkin ada yang terputus,"
orang tua yang memiliki anak penyandang autis kerap tidak sabar melihat perkembangan si anak yang dinilainya lambat. Karena itu mereka berharap di tempat terapi lain bisa segera berhasil.
Padahal tidak seperti itu. Orang tua memang harus ekstra sabar karena untuk satu kemampuan saja butuh waktu lama, seperti untuk kemampuan anak bisa kontak mata dengan orang lain saja butuh waktu beberapa bulan.
Akibat keinginan yang menggebu-gebu agar anaknya segera berkembang sama dengan anak normal seusianya, maka orang tua berpindah-pindah dari satu tempat terapi ke tempat lainnya.
Kalau di tempat terapi yang baru terapisnya kooperatif, maka catatan perkembangan dan terapi sebelumnya yang dijalani si anak akan dibaca dan dipelajari. Tapi kalau terapisnya     tidak mau mempelajari catatan perkembangan itu, maka dimulai dari awal lagi.
 memiliki anak dengan gangguan autis memang harus berbesar hati dan menerima segala resikonya. Dengan sikap demikian, maka orang tua akan melakukan terapi pada anak dengan tidak mengedepankan target terlalu tinggi.
Memang sikap orang tua kebanyakan dari anak autis yang tidak sabar itu wajar karena mereka ingin anaknya sama seperti anak-anak normal. Selain itu memiliki anak autis memang membutuhkan biaya yang sangat besar karena harus menjaga makanan yang seimbang, termasuk untuk terapi.
Autis tidak dianggap penyakit sehingga tidak ditanggung asuransi. Padahal anak dengan autisme membutuhkan serangkaian terapi, obat, suplemen, dan konsultasi dokter yang biayanya tak bisa dibilang murah. Inilah yang membuat orang tua yang memiliki anak penyandang autisme “menjerit.

Anak penyandang autis membutuhkan perlakuan khusus dan penanganan sejak dini. Ada beberapa penanganan yang dapat dilakukan seperti memberikan pendidikan khusus, occupational therapy, terapi bicara dan terapi bahasa, terapi fisik dengan melatih otot-otot mereka, applied behavioral analysis untuk membantu mengenal perilaku mana yang positif atau negatif, picture exchange communication system, yang merupakan metode belajar melalui gambar, mengekspresikan kata melalui gambar yang mudah ditangkap penderita autis.
TAK hanya anak normal yang berhak mendapat pendidikan, anak penyandang autis pun memiliki hak yang sama. Pemerintah malah mengimbau kepada para penyandang autis harus mendapatkan perhatian khusus.
Undang-undang mengatakan bahwa semua warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang sama. UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 mengamanatkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Eko Djatmiko Sukarso mengatakan, ”Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penyandang autis,”sebutnya.
Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang berat atau luas, dan dapat terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupannya. Penyandang autis memiliki gangguan berkomunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas dan minat yang terbatas serta berulang-ulang (repetitif). Gejalanya misalnya, anak tidak bisa bicara atau terlambat bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti, tidak mau kontak mata, tidak mau bermain dengan teman sebaya.
Ada juga yang gemar melakukan aktivitas berulang-ulang tanpa mau diubah, terpukau pada bagian-bagian benda, seperti senang melihat benda berputar, jalan berjinjit, menatapi telapak tangan, serta berputar-putar. Hal tersebut membuat anak autis seperti hidup pada dunianya sendiri.Metode yang sering diterapkan untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, yaitu Applied Behavior Analysis (ABA) atau metode bivavioristik yang dikenalkan Prof Dr Lovaas di Amerika Serikat. Metode bertujuan membentuk atau menguatkan perilaku positif anak autis dan mereduksi perilaku negatifnya. Namun, pada pelaksanaannya tidak jarang terapis menerapkannya dengan cara-cara yang relatif keras.”Memang benar harus tegas dan konsisten. Tetapi juga harus telaten, sabar, dan penuh kasih sayang. Prinsipnya mengajarkan dengan perasaan. Metode ABA sebenarnya tidak keras seperti itu. Dengan pendekatan lebih manusiawi, kita bisa membentuk perilaku positif pada anak autis,”

Tidak ada komentar: