EFEKTIFKAH
SERING BERPINDAH TEMPAT TERAPI BAGI PENYANDANG AUTISME?
Para
orang tua yang memiliki anak autis seringkali terjebak pada perilaku
"shopping therapy" atau berpindah-pindah tempat terapi karena mereka
tidak sabar. Alhasil, terapi yang dijalani penyandang autisme menjadi
tidak efektif karena dilakukan secara tidak berkelanjutan.
"Shopping therapy
ini menyebabkan terapi terhadap si anak tidak efektif karena polanya tidak
berkesinambungan dan mungkin ada yang terputus,"
orang
tua yang memiliki anak penyandang autis kerap tidak sabar melihat perkembangan
si anak yang dinilainya lambat. Karena itu mereka berharap di tempat terapi lain
bisa segera berhasil.
Padahal
tidak seperti itu. Orang tua memang harus ekstra sabar karena untuk satu
kemampuan saja butuh waktu lama, seperti untuk kemampuan anak bisa kontak mata
dengan orang lain saja butuh waktu beberapa bulan.
Akibat
keinginan yang menggebu-gebu agar anaknya segera berkembang sama dengan anak
normal seusianya, maka orang tua berpindah-pindah dari satu tempat terapi ke
tempat lainnya.
Kalau
di tempat terapi yang baru terapisnya kooperatif, maka catatan perkembangan dan
terapi sebelumnya yang dijalani si anak akan dibaca dan dipelajari. Tapi kalau
terapisnya tidak mau mempelajari catatan perkembangan itu,
maka dimulai dari awal lagi.
memiliki anak dengan gangguan autis memang
harus berbesar hati dan menerima segala resikonya. Dengan sikap demikian, maka
orang tua akan melakukan terapi pada anak dengan tidak mengedepankan target
terlalu tinggi.
Memang
sikap orang tua kebanyakan dari anak autis yang tidak sabar itu wajar karena
mereka ingin anaknya sama seperti anak-anak normal. Selain itu memiliki anak
autis memang membutuhkan biaya yang sangat besar karena harus menjaga makanan
yang seimbang, termasuk untuk terapi.
Autis
tidak dianggap penyakit sehingga tidak ditanggung asuransi. Padahal anak dengan
autisme membutuhkan serangkaian terapi, obat, suplemen, dan konsultasi dokter
yang biayanya tak bisa dibilang murah. Inilah yang membuat orang tua yang
memiliki anak penyandang autisme “menjerit.
Anak penyandang autis membutuhkan perlakuan khusus dan penanganan sejak dini. Ada beberapa penanganan yang dapat dilakukan seperti memberikan pendidikan khusus, occupational therapy, terapi bicara dan terapi bahasa, terapi fisik dengan melatih otot-otot mereka, applied behavioral analysis untuk membantu mengenal perilaku mana yang positif atau negatif, picture exchange communication system, yang merupakan metode belajar melalui gambar, mengekspresikan kata melalui gambar yang mudah ditangkap penderita autis.
Anak penyandang autis membutuhkan perlakuan khusus dan penanganan sejak dini. Ada beberapa penanganan yang dapat dilakukan seperti memberikan pendidikan khusus, occupational therapy, terapi bicara dan terapi bahasa, terapi fisik dengan melatih otot-otot mereka, applied behavioral analysis untuk membantu mengenal perilaku mana yang positif atau negatif, picture exchange communication system, yang merupakan metode belajar melalui gambar, mengekspresikan kata melalui gambar yang mudah ditangkap penderita autis.
TAK
hanya anak normal yang berhak mendapat pendidikan, anak penyandang autis pun
memiliki hak yang sama. Pemerintah malah mengimbau kepada para penyandang autis
harus mendapatkan perhatian khusus.
Undang-undang
mengatakan bahwa semua warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang sama.
UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 mengamanatkan pemerintah untuk menyelenggarakan
pendidikan bagi semua masyarakat. Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen)
Departemen Pendidikan Eko Djatmiko Sukarso mengatakan, ”Pemerintah mengakui dan
melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi
penyandang autis,”sebutnya.
Autisme
merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang berat atau luas, dan dapat
terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupannya. Penyandang autis
memiliki gangguan berkomunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas dan minat
yang terbatas serta berulang-ulang (repetitif). Gejalanya misalnya, anak tidak
bisa bicara atau terlambat bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti,
tidak mau kontak mata, tidak mau bermain dengan teman sebaya.
Ada
juga yang gemar melakukan aktivitas berulang-ulang tanpa mau diubah, terpukau
pada bagian-bagian benda, seperti senang melihat benda berputar, jalan
berjinjit, menatapi telapak tangan, serta berputar-putar. Hal tersebut membuat
anak autis seperti hidup pada dunianya sendiri.Metode yang sering diterapkan
untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, yaitu Applied Behavior
Analysis (ABA) atau metode bivavioristik yang dikenalkan Prof Dr Lovaas di
Amerika Serikat. Metode bertujuan membentuk atau menguatkan perilaku positif
anak autis dan mereduksi perilaku negatifnya. Namun, pada pelaksanaannya tidak
jarang terapis menerapkannya dengan cara-cara yang relatif keras.”Memang benar
harus tegas dan konsisten. Tetapi juga harus telaten, sabar, dan penuh kasih
sayang. Prinsipnya mengajarkan dengan perasaan. Metode ABA sebenarnya tidak
keras seperti itu. Dengan pendekatan lebih manusiawi, kita bisa membentuk
perilaku positif pada anak autis,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar