AUTISME DEWASA
Sebagai masyarakat timur, seringkali kita merasa sungkan
membicarakan masalah seksualitas. Apalagi pada individu autis, yang memang memerlukan penanganan khusus. Selain sungkan,
kebanyakan orang tua juga tidak sanggup menghadapi rangkaian
masalah yang harus dihadapi di kemudian hari dan memilih untuk menyimpan
masalah itu hingga saat-saat terakhir. Padahal justru peran orang tua di
masa kanak anak sangatlah menentukan dalam mempersiapkan anak-anak autis ini menghadapi masa-masa remaja dan masa dewasa mereka. Tanpa
persiapan dan penjelasan sebelumnya, anak autis bingung dan
cemas menghadapi perubahan fisik dalam diri mereka atau terlanjur menjadi
korban penanganan lingkungan yang kurang bertanggung jawab.
BATASAN
Individu autis adalah individu yang sudah mendapat diagnosa
sebagai memiliki gangguan per-kembangan autisme sebelum usia 3 tahun,
dengan manifestasi gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan
interaksi. Kadang mereka juga memiliki masalah lain seperti masalah
makan, masalah tidur, gangguan sensoris dan sebagainya.
Masa remaja autis, berawal pada usia yang berbeda-beda pada setiap
individu. Ada yang sudah mengalami perubahan fisik dan dorongan
seksual sejak usia 8 tahun, sementara yang lain terjadi sekitar usia 13-18
tahun. Bahkan ada pula yang hingga
awal usia 20-an tidak menunjukkan minat yang berarti. Adams (2000)
menyebutkan bahwa diskusi awal mengenai topik ini sudah
seharusnya dimulai saat anak berusia 10 tahun, kecuali anak tampak memiliki
kebutuhan untuk itu di usia lebih dini.
Yang jelas, penelitian menunjukkan bahwa pada individu dengan
kebutuhan khusus (special needs individuals) juga terjadi perkembangan yang kurang lebih sama dengan individu yang tidak
mengalami gangguan perkembangan. Mereka mengalami
perubahan emosional, fisik dan sosial yang hampir sama. Perubahan fisik mereka
antara lain: mulai tumbuh
rambut di wajah, ketiak dan di daerah kemaluan, terjadi perubahan
pertumbuhan rambut di seluruh tubuh, perubahan suara pria, wanita
mulai menstruasi. Meski demikian, perubahan emosional bagi anak dengan
kebutuhan khusus (termasu autism) prosesnya cenderung lebih sulit
karena minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan (Schwier&Hingsburger, 2000) sehingga tidak ada informasi yang
jelas. Atau, sebaliknya, mereka justru menarik diri sama sekali dari pergaulan karena tidak mampu menterjemahkan begitu
banyak ‘pesan tersirat’ dan aturan sosial yang membingungkan.
Temple Grandin dalam salah satu bukunya bahkan menuturkan bahwa ia memutuskan
untuk hidup lajang (=celibacy) agar terhindar dari situasi
sosial yang begitu rumit dan sulit ia atasi.
Seksualitas adalah integrasi dari perasaan, kebutuhan dan hasrat
yang membentuk kepribadian unik seseorang,
mengungkapkan kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau
wanita.
Seks, sebaliknya, biasanya hanya didefinisikan sebagai jenis
kelamin (pria atau wanita); atau kegiatan atau aktifitas dari
hubungan fisik seks itu sendiri.
Dalam makalah ini, seksualitas dibatasi sebagai pikiran, perasaan,
sikap dan perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri. (Schwier
& Hingsburger, 2000). Dengan
demikian, bukan kegiatan hubungan seks yang akan dibahas, tapi bagaimana membantu anak autis memahami seksualitas secara keseluruhan agar ia berkembang sebagai pribadi yang ‘utuh’ dan
‘mandiri’.
Seksualitas mencakup banyak
faktor dan tidak bisa dilihat secara terpisah. Untuk dapat memahami seksualitas,
kita harus
memahami cinta kasih. Untuk dapat memahami cinta-kasih, kita harus
memahami keterikatan (=bonding). Memahami ‘keterikatan’,
kita harus memahami arti cinta tanpa pamrih. Dan tentu saja, untuk dapat
memahami arti cinta tanpa pamrih, kita harus
pernah merasakannya. (Schwier&Hingsburger, 2000). Sayangnya bagi individu
dengan kebutuhan khusus ini, seringkali mereka kurang mendapatkan
perlakuan penuh kasih dari lingkungan terdekatnya.
Bahkan ada penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan lebih
tertarik kepada bayi atau balita yang lucu, menggemaskan
dan berespons dengan baik; tapi kurang tertarik kepada mereka yang kurang
menarik. Apalagi anak autis seringkali kurang mampu berkomunikasi atau
berespons sehingga lingkungan berasumsi bahwa anak-anak ini juga tidak paham stimulasi atau percakapan. Lingkungan lalu memutuskan untuk
tidak mengajak bicara anak-anak ini, dengan pemikiran
yang sangat sederhana “mereka ‘kan tidak mengerti”. Seringkali kesempatan
anak-anak dengan kebutuhan khusus ini untuk bergaul dengan teman sebaya juga
terbatas, sehingga mereka tidak punya pengalaman bergaul yang cukup untuk membentuk hubungan emosional yang sehat sesuai usia mereka.
SEKSUALITAS PADA INDIVIDU
AUTISTIC SPECTRUM DISORDER
Selain gangguan perilaku dan gangguan komunikasi, masalah individu
autis adalah dalam membentuk interaksi dengan orang lain.
Masalah interaksi ini (DSM IV- R-2000), termanifestasi dalam bentuk gangguan
kualitatif dalam interaksi social.
Dewey and Everad (1974) menjelaskan bahwa individu autis bisa
merasa tertarik pada orang lain, tapi gaya ekspresi seksualitas
mereka seringkali naif, tidak matang dan tidak sesuai dengan usianya. Gangguan
autism mereka tampaknya menghambat mereka dalam memahami
sinyal-sinyal tersirat yang selalu ada dalam hubungan antar manusia. Jadi
meskipun
mereka mengalami perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan
anak lain seusianya, tapi perkembangan emosi dan ketrampilan
sosial mereka yang tidak berimbang cenderung menghambat mereka untuk
berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain (dalam hal ini
lawan jenis).
Temple Grandin menjelaskan bahwa interaksi sosial yang bagi orang
lain merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, baginya
adalah hal yang paling sulit untuk ia pahami. Ia harus belajar melalui cara
yang ‘coba-salah’ (=trial error) karena ia tidak paham
harus berbuat apa. Bagi dia, manusia sulit ditebak, respons emosinya sangat
rumit dan bergradasi, dan reaksi atas stimulus
cenderung berubah-ubah. Ia harus terus menerus menalar interaksi sosial. Bahkan
hingga kini, hubungan antar
pribadi adalah hal yang tidak dipahami oleh Grandin.
Untuk mempermudah dirinya sendiri, Grandin mengembangkan sistim
untuk memahami interaksi sosial, yang ia sebut
“Sins of the System”, yang terbagi atas 4 kelompok:
~
Really bad things.
Misal: membunuh, membakar, mencuri dan berbagai larangan lain.
~ Courtesy rules.
Misal: tidak menerobos antrian, aturan saat makan, mengucapkan terima
kasih, menjaga
kebersihan diri. Hal-hal yang penting untuk membuat orang lain
merasa nyaman.
~ Illegal but not bad.
Misal: sedikit ngebut di jalan raya, parkir di tempat terlarang.
~ Sins of the System
(SOS). Misal: mengisap ganja, masuk penjara selama 10 tahun, dan perilaku
seksual yang menyimpang. SOS adalah penalti yang sangat
parah sehingga mengalahkan semua llogika. Kadang penalti untuk perilaku seksual menyimpang lebih parah daripada untuk pembunuhan.
Karena Grandin sangat bingung akan muatan ‘emosional’ yang
terkandung dalam aturan-aturan hubungan antar pribadi, ia bahkan tidak berani membicarakannya karena takut melanggar SOS.
Grandin paham bahwa aturan SOS di sebuah lingkungan
bisa diartikan sebagai perilaku yang dapat diterima, sementara di lingkungan
yang berbeda belum tentu
(standard di setiap lingkungan tidak sama). Sementara itu, 3
aturan lain lebih bersifat permanen dan berlaku pada semua
lingkungan sehingga bisa lebih dimengerti oleh Grandin.
Kekhawatiran Grandin melanggar SOS membuatnya memilih untuk hidup
melajang. Menurut Grandin, ia terhindar dari aneka masalah
karena pilihannya tersebut. Grandin menganjurkan individu lain dengan autism untuk memahami bahwa “perilaku tertentu tidak bisa ditoleransi”. Karena itu, biasanya
individu autis memutuskan untuk hidup melajang, atau bila
memutuskan untuk menikah sekalipun, biasanya menikah dengan
pasangan yang memiliki gangguan serupa.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Grandin, sebuah survei
atas 63 anak autis menunjukkan bahwa tidak satupun dari mereka
menikah saat sudah dewasa (Rutter 1970). Kanner (1972) melakukan survei serupa
pada 96 anak autis, tidak Dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual
individu autis sebenarnya tidak terganggu, tapi ekspresi mereka yang mencerminkan ketidak-matangan perkembangan sosial dan emosional
mereka. Fakta membuktikan, individu autis mengembangkan
perilaku seksual yang tidak seharusnya karena ketidak-mampuan mereka memahami
norma dan aturan sosial, dan karena ketidak mampuan mereka
berkomunikasi dengan efektif serta membentuk hubungan timbal balik. Pada saat bersamaan, kesulitan mereka dalam membayangkan berbagai hal
membuat mereka mengalami kesulitan berfantasi sehingga pada
akhirnya memerlukan rangsangan khusus sebagai upaya membantu memberi kepuasan
pada kebutuhan seksual mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar