Pengikut

Selasa, Desember 24, 2013

AUTISME DEWASA



AUTISME DEWASA

Sebagai masyarakat timur, seringkali kita merasa sungkan membicarakan masalah seksualitas. Apalagi pada individu autis, yang memang memerlukan penanganan khusus. Selain sungkan, kebanyakan orang tua juga tidak sanggup menghadapi rangkaian masalah yang harus dihadapi di kemudian hari dan memilih untuk menyimpan masalah itu hingga saat-saat terakhir. Padahal justru peran orang tua di masa kanak anak sangatlah menentukan dalam mempersiapkan anak-anak autis ini menghadapi masa-masa remaja dan masa dewasa mereka. Tanpa persiapan dan penjelasan sebelumnya, anak autis bingung dan cemas menghadapi perubahan fisik dalam diri mereka atau terlanjur menjadi korban penanganan lingkungan yang kurang bertanggung jawab.

BATASAN
Individu autis adalah individu yang sudah mendapat diagnosa sebagai memiliki gangguan per-kembangan autisme sebelum usia 3 tahun, dengan manifestasi gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan interaksi. Kadang mereka juga memiliki masalah lain seperti masalah makan, masalah tidur, gangguan sensoris dan sebagainya.

Masa remaja autis, berawal pada usia yang berbeda-beda pada setiap individu. Ada yang sudah mengalami perubahan fisik dan dorongan seksual sejak usia 8 tahun, sementara yang lain terjadi sekitar usia 13-18 tahun. Bahkan ada pula yang hingga
awal usia 20-an tidak menunjukkan minat yang berarti. Adams (2000) menyebutkan bahwa diskusi awal mengenai topik ini sudah seharusnya dimulai saat anak berusia 10 tahun, kecuali anak tampak memiliki kebutuhan untuk itu di usia lebih dini.

Yang jelas, penelitian menunjukkan bahwa pada individu dengan kebutuhan khusus (special needs individuals) juga terjadi perkembangan yang kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Mereka mengalami perubahan emosional, fisik dan sosial yang hampir sama. Perubahan fisik mereka antara lain: mulai tumbuh
rambut di wajah, ketiak dan di daerah kemaluan, terjadi perubahan pertumbuhan rambut di seluruh tubuh, perubahan suara pria, wanita mulai menstruasi. Meski demikian, perubahan emosional bagi anak dengan kebutuhan khusus (termasu autism) prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan (Schwier&Hingsburger, 2000) sehingga tidak ada informasi yang jelas. Atau, sebaliknya, mereka justru menarik diri sama sekali dari pergaulan karena tidak mampu menterjemahkan begitu banyak ‘pesan tersirat’ dan aturan sosial yang membingungkan. Temple Grandin dalam salah satu bukunya bahkan menuturkan bahwa ia memutuskan untuk hidup lajang (=celibacy) agar terhindar dari situasi sosial yang begitu rumit dan sulit ia atasi.

Seksualitas adalah integrasi dari perasaan, kebutuhan dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang,
mengungkapkan kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau wanita.
Seks, sebaliknya, biasanya hanya didefinisikan sebagai jenis kelamin (pria atau wanita); atau kegiatan atau aktifitas dari
hubungan fisik seks itu sendiri.
 
Dalam makalah ini, seksualitas dibatasi sebagai pikiran, perasaan, sikap dan perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri. (Schwier & Hingsburger, 2000).  Dengan demikian, bukan kegiatan hubungan seks yang akan dibahas, tapi bagaimana membantu anak autis memahami seksualitas secara keseluruhan agar  ia berkembang sebagai pribadi yang ‘utuh’ dan
‘mandiri’.
 Seksualitas mencakup banyak faktor dan tidak bisa dilihat secara terpisah. Untuk dapat memahami seksualitas, kita harus
memahami cinta kasih. Untuk dapat memahami cinta-kasih, kita harus memahami keterikatan (=bonding). Memahami ‘keterikatan’, kita harus memahami arti cinta tanpa pamrih. Dan tentu saja, untuk dapat memahami arti cinta tanpa pamrih, kita harus pernah merasakannya. (Schwier&Hingsburger, 2000). Sayangnya bagi individu dengan kebutuhan khusus ini, seringkali mereka kurang mendapatkan perlakuan penuh kasih dari lingkungan terdekatnya.

Bahkan ada penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan lebih tertarik kepada bayi atau balita yang lucu, menggemaskan dan berespons dengan baik; tapi kurang tertarik kepada mereka yang kurang menarik. Apalagi anak autis seringkali kurang mampu berkomunikasi atau berespons sehingga lingkungan berasumsi bahwa anak-anak ini juga tidak paham stimulasi atau percakapan. Lingkungan lalu memutuskan untuk tidak mengajak bicara anak-anak ini, dengan pemikiran yang sangat sederhana “mereka ‘kan tidak mengerti”. Seringkali kesempatan anak-anak dengan kebutuhan khusus ini untuk bergaul dengan teman sebaya juga terbatas, sehingga mereka tidak punya pengalaman bergaul yang cukup untuk membentuk hubungan emosional yang sehat sesuai usia mereka.

SEKSUALITAS  PADA INDIVIDU AUTISTIC SPECTRUM DISORDER
Selain gangguan perilaku dan gangguan komunikasi, masalah individu autis adalah dalam membentuk interaksi dengan orang lain. Masalah interaksi ini (DSM IV- R-2000), termanifestasi dalam bentuk gangguan kualitatif dalam interaksi social.
Dewey and Everad (1974) menjelaskan bahwa individu autis bisa merasa tertarik pada orang lain, tapi gaya ekspresi seksualitas mereka seringkali naif, tidak matang dan tidak sesuai dengan usianya. Gangguan autism mereka tampaknya menghambat mereka dalam memahami sinyal-sinyal tersirat yang selalu ada dalam hubungan antar manusia. Jadi meskipun
mereka mengalami perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan anak lain seusianya, tapi perkembangan emosi dan ketrampilan sosial mereka yang tidak berimbang cenderung menghambat mereka untuk berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain (dalam hal ini lawan jenis).

Temple Grandin menjelaskan bahwa interaksi sosial yang bagi orang lain merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, baginya adalah hal yang paling sulit untuk ia pahami. Ia harus belajar melalui cara yang ‘coba-salah’ (=trial error) karena ia tidak paham harus berbuat apa. Bagi dia, manusia sulit ditebak, respons emosinya sangat rumit dan bergradasi, dan reaksi atas stimulus cenderung berubah-ubah. Ia harus terus menerus menalar interaksi sosial. Bahkan hingga kini, hubungan antar
pribadi adalah hal yang tidak dipahami oleh Grandin.

Untuk mempermudah dirinya sendiri, Grandin mengembangkan sistim untuk memahami interaksi sosial, yang ia sebut
“Sins of the System”, yang terbagi atas 4 kelompok:
~
      Really bad things. Misal: membunuh, membakar, mencuri dan berbagai larangan lain.
~      Courtesy rules. Misal: tidak menerobos antrian, aturan saat makan, mengucapkan terima kasih,  menjaga
kebersihan diri. Hal-hal yang penting untuk membuat orang lain merasa nyaman.
~      Illegal but not bad. Misal: sedikit ngebut di jalan raya, parkir di tempat terlarang.
~      Sins of the System (SOS). Misal: mengisap ganja, masuk penjara selama 10 tahun, dan perilaku seksual yang menyimpang. SOS adalah penalti yang sangat parah sehingga mengalahkan semua llogika. Kadang penalti untuk perilaku seksual menyimpang lebih parah daripada untuk pembunuhan.

Karena Grandin sangat bingung akan muatan ‘emosional’ yang terkandung dalam aturan-aturan hubungan antar pribadi, ia bahkan tidak berani membicarakannya karena takut melanggar SOS. Grandin paham bahwa aturan SOS di sebuah lingkungan bisa diartikan sebagai perilaku yang dapat diterima, sementara di lingkungan yang berbeda belum tentu
(standard di setiap lingkungan tidak sama). Sementara itu, 3 aturan lain lebih bersifat permanen dan berlaku pada semua
lingkungan sehingga bisa lebih dimengerti oleh Grandin.

Kekhawatiran Grandin melanggar SOS membuatnya memilih untuk hidup melajang. Menurut Grandin, ia terhindar dari aneka masalah karena pilihannya tersebut. Grandin menganjurkan individu lain dengan autism  untuk memahami bahwa “perilaku tertentu tidak bisa ditoleransi”. Karena itu, biasanya individu autis memutuskan untuk hidup melajang, atau bila
memutuskan untuk menikah sekalipun, biasanya menikah dengan pasangan yang memiliki gangguan serupa.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Grandin, sebuah survei atas 63 anak autis menunjukkan bahwa tidak satupun dari mereka menikah saat sudah dewasa (Rutter 1970). Kanner (1972) melakukan survei serupa pada 96 anak autis, tidak Dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual individu autis sebenarnya tidak terganggu, tapi ekspresi mereka yang mencerminkan ketidak-matangan perkembangan sosial dan emosional mereka. Fakta membuktikan, individu autis mengembangkan perilaku seksual yang tidak seharusnya karena ketidak-mampuan mereka memahami norma dan aturan sosial, dan karena ketidak mampuan mereka berkomunikasi dengan efektif serta membentuk hubungan timbal balik. Pada saat bersamaan, kesulitan mereka dalam membayangkan berbagai hal membuat mereka mengalami kesulitan berfantasi sehingga pada akhirnya memerlukan rangsangan khusus sebagai upaya membantu memberi kepuasan pada kebutuhan seksual mereka.

Tidak ada komentar: